fantasy: SPIRIT OF JAKARTA / 2006 / oil on canvas / 200 x 200 cm

MENYIMAK LUKISAN TATO

SENI LUKIS TATO
MENEMBUS KEBEBASAN
DARI REALISME FAMTASTIK KE SUREALISME SIMBOLIK.

Pengantar

Transformasi ide dan teknis dalam perjalanan kreatif seorang seniman seringkali tidak mengenal batas-batas transisi atau peralihan yang tegas. Ada saat dimana ciri-ciri teknis dan tema yang dikerjakan menegaskan sebuah pijakan gagasan maupun gaya yang jelas diamati berdiri dimana. Namun pada saat lain kita bisa sulit mendefinisikan pencapaian teknis-estetik sebuah karya yang tidak menunjukkan garis hubungan tegas dengan karya-karya lain. Persoalan ini dipertegas kenyataan bahwa realitas penciptaan seni visual (lukis) yang kental dengan aroma jiwa tanpak (fingerfrint) –meminkam istilah Sudjyono - pada hasil kaya. Lihatlah bagaimana orang mencirikan keaslian van Gogh dari keekspresifan coretan garis-garis putusnya yang konsisten, Affandi dengan tarikan garis meliuk-liuk dari mulut tube catnya.
Ditengah konstelasi seni rupa dunia yang terlanjur mendunia (universal), pembicaraan atau suatu studi perbandingan tentang aliras seni berkaitan dengan suatu kecnderungan teknis pada karya seorang seniman, menjadi suatu kelaziman bila permbicaraan menyinggung perkembangan gaya/aliran seni lukis dunia tertentu.
Dunia seni rupa modern kita memang hampir tak terlepaskan dari pengaruh perkembangan aliran-aliran seni di Barat, yang eksis muncul sejak pertengahan abad 19. Sebutlah Impresionisme, Ekspresionisme, Kubisme, Surealismke, Konstruktivisme dan seterusnya. Dan menyebut karya seorang seniman kedalam sebuah aliran, itu sama dengan mengidentikkan karya tersebut degan sebuah aliran.
Disini konsistensi bahkan fanatisme pada aliran menjadi semacam keharusan. Tatkala seniman konsisten berdiri pada satu kecenderungan gaya, ia seolah telah menemukan jati dirinya. Kriteria keberhasilan sepertinya berputar pada penentuan sikap airan, meski kualitas karya menyangkut kompleksitas teknis, gagasan, pesan bisa berkata lain.
Memang menjadi cukup masuk akal bila kita kemudian bertanya tentang definisi aliran, terutama kaitanya dengan kreativitas itu sendiri. Munculnya wacana kematian aliran seni sejak era 70 an tidak lepas dari konteks ini.
Selain karena tak lagi dianggap mampu menampung pluralitas budaya masyarakat informasi (masyarakat pasca industri), universalitas aliran (menurut versi Barat) mulai dipertanyakan. Isu ini pun menjadi salah satu bentuk penolakan gerakan seni pasca modern terhadap tradisi modernisme yang mengembangkan konsep dialektika arus utama (mainstream) dalam konstelasi seni modern dunia. Seniman Pop Andy Warhol malah dianggap mengolok-olok aliran lewat karya-karya yang tak pernah berhenti pada satu idiom, pakem maupun medium.
Perdebatan sekitar isu tersebut mamang masih merupakan polemik yang tak berkesudahan, dan tulisan ini tak ditujukan membahas soal tersebut secara khusus, dan tulisan ini tak berniat mengejar sebuah bentuk pembelaan terhadap salah satu kubu berseberangan dalam memandang aliran seni.
Kembali pada topik diatas : ketika karya seniman berada diwilayah sebuah gaya seni dan saat lain memasuki wilayah gaya yang (agak) berbeda, dari titik manakah kita menentukan sudut pandang paling tepat memberi apresiasi ?.
Tulisan ini selanjutnya akan menyoroti karya - karya pelukis Tato, seorang pelukis yang aktif berkarya ditengah komunitas seniman Pasar Seni Ancol : dilihat dari perkembangan corak ungkapan, teknis dan gagasan yang ia bawakan dalam beberapa tahun terakhir.

Analisis dan Perbandingan.

Karya-karya Tato dalam konteks pembicaraan diatas menawarkan beberapa hal menarik. Didukung penguasaan teknis yang prima, karyanya seakan memiliki daya magnit untuk menarik perhatian tiap pemirsa, untuk kemudian larut berimajinasi di alam metafisis rekaanya. Sekilas kanvas Tato kental menyeruakkan idiom-idiom surealisme. Namun bila diamati lebih teliti, karya Tato sesungguhnya tidak berdiri statis pada satu jalur estetika aliran. Karyanya bergoyang dari basis realisme kearah fantasi hingga surealisme, atau antara realitas imajinatif ke dunia simbolik surealitik yang menjauhi kenyataan, lalu balik ke titik realisme. (Lihat table 1).
Begitulah gerak bandul kreatif pelukis yang yang pernah mengenyam pendidikan formal seni rupa di SMSRI Yogyakarta ini bergoyang kesana kemari : bentuk-bentuk alam yangt utuh menggoda, kadang bergetar, terpiuh bersama ruang dan waktu, kadang membersitkan symbol-simbol, kadang merepresentasikan ruang yang memecah, mendengungkan absurditas hidup.
Sepenjang pengamatan penulis, karya-karya Tato sedikitnya memiliki tiga corak manifestasi wujud dalam wilayah realisme –fantasi--surealmya.
Pertama : manifestasi bentuk (figure dan alam benda) dalam realitas statis dan utuh, dimana realisme-naturalistik menjadi dasar acuan bentuknya.
Kedua : manifestasi bentuk dengan realitas yang labil dan bergetar dan Ketiga : manifestasi bentuk dalam kenyataan yang pecah (discontinue : tak menyajikann kenyataan yang lengkap dan dislocation : tak mewakili asal muasal yang logis). Ketiga kecenderungan tersebut tentu saja bersifat relatif ; dimana kemungkinan-kemungkinan diluar batasan itu sangat mungkin terjadi, mengingat factor subyektifitas ungkapan seni. ***

Dalam kecenderungan pertama, umumnya kita mudah menangkap manifestasi wujud yang lengkap, dengan penajaman detail-detail yang akurat. Karya semacam ini terbangun sebagai satu kesatuan atmosfir alam yang berujung pangkal, dengan satu titik perspektif. Pada lukisan semacam : “Waktu Telah Bergeser” (2005), “Batu-Batu Keterbatasan” (2005), “Perlu Perbaikan”(2005) misalnya ciri-ciri keutuhan manifestasi wujud jelas terlihat. Bahwa suasana yang terjadi terasa mencekam - lebih dari kenyataan sebenarnya - menunjukkan lebarnya wilayah subyektif pelukis berperan.
Hal yang membedakan lukisan ini dengan kenyataan normal adalah dramatisasi suasana yang mengantar mata kita pada situasi serba kritis. Suasana yang menohok perhatian (empatik) tiap pengamat pada aspek atau dimensi tertentu semacam : kesadaran pada perjalanan waktu (“Waktu Telah Bergeser”), kesadaran eksistensial berkaitan dengan kondisi keterkungkungan (“Batu-Batu Keterbatasan”, dan kesadaran situasional yang bersifat genting (“Perlu Perbaikan”).
Lukisan “Waktu Telah Bergeser” adalah sebuah karya menghadirkan organisasi visual sederhana. Memposisikan obyek utama, sebuah jam berlandaskan beton. Berdiri dalam posisi goyah, nyaris patah diantara lilitan tali yang menegang dari berbagai arah berbeda. Benda-benda yang krisis itu hadir ditengah hamparan pemandangan alam yang ganjil ; bertemunya batas-batas cakrawala yang melingkar di ufuk horizon. Daun-daun kering, jarum jam, pilar beton dan tali, ditampilkan lewat detail yang memikat. Seperti karya-karya Tato lainya, disini emosi kita kenikmatan visual berpadu dengan ketegangan, keabadian yang senyap ditengah kepanaan yang berjalan bergerak bersamawaktu.
Karya ini termasuk salah satu diantara sejumlah karya Tato yang dengan tajam membetot kesadaran kita untuk kembali merenungi peristiwa biasa yang mungkin sering kita alami. Meski lewat pendekatan disiplin teknis realisme, secara teknis karya nya memiliki daya kejut yang pas, baik dalam olahan detail, sudut pandang, skala bentuk dan kontras yang mampu membangun dinamika komposisi, menjadikan karya sepeti ini tampil memikat.
***

Kecenderungan kedua bisa diamati pada karya “ Alam Menyapa” (2006) ataupun “Volcano “ (2005),“Indonesia Menangis,150 x 150 cm (2003), dan” Ruang dan Waktu”, 200 x 200 cm (2003) Umumnya menampilkan fenomena alam yang terbelah, bergetar dan bergolak, meski wujud keseluruhan masih terlihat.
Perspektif ruang yang tidak menyatu atau tak berbatas (unlimit), menghadirkan batas horizon yang dapat hilang sekonyong-konyong untuk kemudian muncul lagi. Bebatuam yang berpusar dan sekonyong-kosong bergerak keangkasa, atau ombak samudra yang bergulung, meliuk, bergerak keatas langit, menemui hamparan awan.
Anasir-anasir alam seperti tanah, bebatuan, air bersama unsur lain sering hadir sebagai elemen-elemen penting pada lukisan Tato. Unsur-unsur ini tampil sebagai sebuah kesatuan atmosfir ditengah ketegangan kosmis yang chaos dan gaduh.
Fenomena inilah yang termanifestasi unik pada “Alam Menyapa”, “Indonesia Menangis” dan “Ruang dan Waktu”. Pada “Alam Menyapa” pertentangan dalam kosmis merupakan tanda bagi munculnya ketidakseimbangan. Penampakan energi alam pada karya-karya semacam ini bukanlah fenomena yang menimbulkan citra keagungan melainkan lebih sebagai pencitraan ancaman dari alam yang murka : badai, topan, gempa, semburan lahar panas dan sebagainya.
“Ruang dan Waktu” kembali menyajikan unsur-unsur air, tanah, langit (awan), planet dan elemen-elemen bentuk alam lain seperti : meja, pilar dan tali. Bertemunya alam makro dan mikro (jagad besar dan jagad kecil), dimana berbagai peristiwa dalam dimensi ruang dan waktu yang berbeda (angkasa dengan objek planet yang hadir diatas meja) terjalin dalam satu frame ruang. Bertemunya berbagai unsur-unsur yang bertentangan (onbak, tanah, batu, angkasa) dalam ruang dan waktu yang tidak logis (dislocation)_ bagai kita sedang menjelajahi alam mimpi.
Karya-kaya ini juga menegaskan transformasi gagasan yang masih mengandung dualisme pada karya Tato yakni dari ranah realisme fantasik ke surealisme simbolik. Pijakanya tentu saja tidak bisa diamati kedalam satu kubu gaya dominan.
***

Kecenderungan ketiga ditandai dengan hadirnya simbolisasi gagasan kedalam bahasa rupa yang sepenuhnya meninggalkan gambaran realitas obyektif ke alam yang sepenuhnya metafisis surreal. Dapat disimak pada karya-karya : “Samudra Air Mata”, “Spirit of Jakarta”,atau “Menembus Kebebasan”.
Pada “Samudra Air mata” seperti juga yang kita kihat pada “Indonesia Menangis” atau “Ruang dan Waktu”, adalah yang mewakili transisi dari ungkapan visual realisme stetis ke realisme simbolik yang berlatar multiimage, penggandaam, repetisi obyek hingga penjungkirbalikan (juxtaposision) dimensi ruang dan waktu.
Pada “Menembus Kebebasan” pencapaian idiom yang dicirikan karya yang disinggung diatas, sangat terwakili. Sebagai salah satu karya Tato yang pernah meraihy penghargaan konpetitif di Jakarta, “Menembus Kebebasan” memperagakan quateknis istimewa. Pengolahan warna-warna monokrom yang cenderung lembut dan menekan emosi muncul disini. Karakter tersebut menjadi amat ekspresif mana kala saat lain ia memaksimalkan warna-warna berat dalam membangun kontras.
Karya ini kembali menonjolkan kualitas simbolik yang dingin, lewat penghadiran sosok anigmatis figure manusia dalam balutan kain putih yang terhampar ditengah dataran luas. Bagian depan ujung kain tertambat kuat pada sebuah pagar besi yang terkunci rapat. Makna simbolik yang segera mencuat adalah : hasrat kebebesan yang dihadapkan dengan belenggu keterkungkungan, dengan karakter kekerasan yang menekan, harus dihadapi dengan harapan dan optimisme.
Visualisasi yang amat sugestif ini mencoba melambungkan sebuah naluri kebebasan ( kain putih yang terhampar jauh hingga batas cakrawala ), berbatasan dengan realitas keterkungkungan absolut yang bersifat mengunci (pagar besi dan borgol).
Lukisan “Spirit of Jakarta”(200 x 300 cm) tak diragukan termasuk salah satu karya Tato yang paling berhasil. Lebih dari demonstrasi keberhasilan teknis, keunikan karya ini amat terdukung oleh pilihan estetika representasi yang kuat, baik dilihat dari kesatuan dan balance, skala, proporsi dan organisasi unsur-unsur visual (khususnya warna, volume, bentuk dan gelap terang) secara keseluruhan.
Karya ini mencapai bentuk keunikan bahasa rupa (visual languace) secara efektif dan atraktif dalam menghadirkan fragmen-fragmen Jakarta kedalam struktur visual yang menghadirkan imagi berlapis (multiimage). Dari aspek ini Tato memang bukan sendirian, dalam arti, jejak seperti ini sudah pernah kita lihat pada karya-karya Dede Eri Supria, terutama dengan karya manusia-manusia urbanya yang mencurahkan sentuhan Pop gaya Janes Rosenqust dan Roy Lichtenstein.
Lihatlah kanvas yang didominasi pilar-pilar beton dengan selingan patung-patung publik di Jakarta : Patung jendral Sudirman, Tugu Slamat Datang, Tugu Pak Tani, Dirgantara dan tugu Monas berada dilatar paling belakang. Patung-patung yang berdiri masif dalam balutan warna biru keabuan tampak dikelilingi pilar-pilar beton yang baru menancap menghadap langit (coklat kemerahan). Pemandangan itu berkontrasan dengan bidang landskap alam (warna kuning temaram) dan sudut keramaian jalanan raya ibukota (dalam warna hijau kebiruan), diantara kawat-kawat berduri yang melintang kesana kemasi.
Fragmen-fragmen kehidupan Jakarta, degan barisan patng-patung disana bagi Tato adalah ibarat sebuah spirit Jakarta yang harus tetap menyala, sepertidi nyala lilin yang tanpak di sudut-sudut pilar bangunan. Dan kehadiran kawat berduri yang melilit seluruh keragaman realitas yang tumbuh di tengah kota, bagi perupa kelahiran Cilacap ini tak lain adalah simbolisasi spirit yang perlu dijaga terus menerus.
Menurut Todd Alden dalam bukunya “The Essential Magritte” (Harry N Abrams, New York, 1999) ada 14 macam strategi visual yang ia sebut sebagai Poetic Strategies terdapat pada karya surealisme Magritte dan lazim bagi para surealis : Juxta position, Dislocation, Hybridization, Metamosphosis, Eclectiv affinities, The Play of Opposites,Fossilization, Animism, Doubling, Painting within Paintings, Words and Things, Change of Scale, Simultaneism dan Copyng.
Jika kategori itu diterapkan pada karya Tato semacam : “Spirit of Jakarta”,” Menembus Kebebasan” atau “Ruang dan Waktu”, maka kita tidak sulit menemukan beberapa persamaan dengan gagasan visual antara karya-karya surealis Magritte dengan Tato. Dalam konteks karya Tato beberapa strategi visual (poetic strategies) yang mempengaruhi ungkapan visualnya seperti penggunaan prinsip : Juxtaposition (penjungkirbalikan realitas), Dislocation (hilangnya konteks ruang), The Play of Opposites (pertentangan latar), Change of Scale (perubahan atau permainan skala), Simultaneim (simultasnitas ruang dan perspektif), dan Doubling (penggandaan/pengulangan bentuk yang sama secara presisi) sebagaimana konsep surealisme Magritte diatas. (lihat lampiran Tabel 2).
***

kembali pada topik yang disingung diatas, alas an-alasan apa yang perlu dan menarik dikedepankan berkaitan dengan aliran dalam konteks proses kreatif seorang seniman. Persoalan ini tentu saja tidak sederhana menyebut aliran itu atau ini, tapi topik tersebut sejatinya berkaitan dengan masalah-masalah prinsipil dalam proses penciptaan.
Seperti telah umum kita fahani , kemunculan aliras surealisme di Eropa pada decade kedua abad 20, berkaitan dengan kemunculan gerakan Dada sebelumnya, yang berupaya lepas dari criteria-kriteria estetis pada seni klasik akademis maupun gerakan modernisme itu sendiri.
Pemberontakan kaum Dada lazim dilihat sebagai reaksi sekelompok seniman muda Eropa(Tristan Tzara, Hugo Ball, Duchanp, Hans Arp, Huelsenbeck dan lain-lainya) atas kondisi chaos dan kehancuran tatanan social yang didasari ketamakan dan materialisme yang diakibatkan perang dunia I. Dan bagi Ball gejala tersebut menjadi lonceng kematian sekaligus awal kelahiran jaman baru. Dawn Ades menulis: ‘‘The war was the dead agony 0f a society based on greed and materialism. Ball saw Dada as a requiem for this society, and also the primitive beginning of a new ane.”(Nikos Stangos, (ed) ”Concepts of Modern art”,Thames and Hudson, 1990).
Gerakan Dada memang telah membuka jalan bagi Surealisme, namun dalam perkembanganya kedua gerakan ini tidak selalu bergerak searah, bahkan belakangan diselimuti perseteruan. Surealisme akhirnya dapat dilihat utuh sebagai aliran otonom dengan tokoh-okoh sepeti Salvador Dali, Rene Magritte, Paul Delvaux dan Andrea Breton (konseptor).
Konsep Surealisme yang berlandaskan teori alam bawah sadar (uncounsious) hasil tenuan Psikoanalisis Freud, menekankan prinsip otomatisme (pure psychic automatism) dalam berkarya. Kelak teori ini memang harus dilihat secara luas, karena implikasinya bagi para seniman memiliki perbedaan-perbedaan. Karya Salvador Dali yang lebih menekankan eksplorasi imajinasi, layaknya dunia mimpi, berbeda dengan karya-karya Magritte yang justru menekankan symbol-simbol.
Interpretasi pada gerakan gagasan Surealisme juga melihat bahwa dasar alam Sureal (mengatasi kenyataan) sesungguhnya juga telah lama berlaku pada masyarakat kuno, yang tercermin pada karya seni budayanya. Dunia surealime pun kini dilihat tak lagi hanya relevan bagi karya-karya Salvador Dali atau Magritte, melainkan juga dilihat pada hasil karya Chagal, Picabia dan Pollock. Fakta ini menunjukkan lkompleksnya pengertian dan implikasi aliran ini.

Kesimpulan

Ada dua pendekatan kritik yang lazim digunanakan dalam membedah sebuah karya seni : Pendekatan Konseptual (ekspresi) dan Pendekatan Formal (berdasarkan wujud/form). Jika pendekatan konseptual mengutamakan analisa terhadap prinsip-prinsip kekaryaan (filsafat, latar social, pendidikan lingkungan dan budaya), maka pendekatan formal mengutamakan pengamatan fakta visual (organisasi visual, struktur ruang dan elemen-elemen visual ; warna, bentuk, garis, cahaya dan volume).
Bila dalam menimbang seni lukis Tato kita menggunakan dua sudut pendekatan tersebut, maka dapat ditarik beberapa simpulan berikut :

1. Bila kompleksitas bangunan wujud visual karya-karya Tato dijadikan sebagai patokan pembedahan – tanpa menyepelekan muatan pesan–pesan konseptualnya – maka pertimbangan-pertimbangan formal (struktur, komposisi, warna, bidang, volume, tekstur, bentuk, cahaya, garis, keseimbangan, kesatuan dan lainya) yang memperhatikan fakta-fakta visual : organisasi, struktur dan cirri elemen visual (warna, bentuk, garis dan seterusnya), dapat dipakai untuk menganalisis karyanya, tanpa harus terpatok pada aliran atau konsep tertentu.

2. Dilihat dari sudut pendekatan gagasan atau konsep maka lukisan Tato perlu diamati dari aspek filosofi, latar social budaya, pendidikan dan lingkungan. Sehingga pada giliranya pengetahuan tersebut mempermudah pemahaman terhadap subyek/tema yang diusung, maupun yang berkaitan dengan motif-motif bentuk yang sering muncul (lanskap, air (ombak), batu, daun, awan, kursi, jendela).
3. Melihat dari susdut pertimbangan formal maupun konsep (ekspresi), serta aspek-aspek yang dikemukakan pada bagian bagisn analisis (lihat tiga pola kecenderungan pada karya Tato, hal. 4 dan 5), maka karya Tato sangat beralasan dimasukkan pada pengaruh Realisme Fantastik (Ernest Funch), dan khususnya aliran Surealisme Simbolik (Salvador Dali dan Rene Magritte). Dengan catatan perkembangan karya Tato tidak bisa dilihat secara linier ; mengikuti pakem aliran surealisme secara statis. Pergerakan proses kreatifnya sangat mungkin masuk ke corak lain diantara kedua aliran tersebut.
4. Konsep Surealisme simbolik pada karya Tato sebaiknya tidak dilihat sebagai bentuk pencapaian yang telah selesai. Melihat proses perjalanan yang masih panjang, maka perubahan-perubahan masih mungkin akan terjadi. Dan kecenderungan tersebut tidak bergerak secara linier, tetapi bisa bergoyang kearah kecenderungan lain antara realisme ke realisme fantasi, kemudian ke simbolisme dan surealisme.
5. Melihat kreativitas pada giliranya berkaitan langsung dengan pengalaman, pendidikan dan lingkungan social budaya seorang seniman, maka fenomena visual karya-karya Tato dapat juga diamati secara otonom, tanpa harus dikaitkan dengan aliran tertentu. Untuk itu perlu pengamatan seksama dalam melihat keinikan-keunikan yang lebih spesifik pada setiap karya seniman (ide, tema, motif, teknis, dan medium)

Oleh : Simon Simorangkir.
(Kurator Independen,
Dosen Keanekaragaman Seni Indonesia, Fisip UI)

Lampiran Tabel.

NO. 1.

Karya
TATO

SUREALISME SIMBOLIK
REALISME FANTASTIK
(MAGIC RELISM)

RELISME

GAGASAN, TEKNIS, MEDIUM.
(Ide dasar, rancangan / sketsa,
visualisasi. Kecenderungan teknis dalam pilihan media)

No. 2
Juxtaposition Waktu Tlh Bergeser
Dislocation. Alam Menyapa.
Hibridization. .
Ruang Dan waktu
Metamorphosis.
Eclectiv Affinities.

The Play of Opposite Menembus Kebebasan.
KARYA TATO
VISUAL STRATEGIES
Surealisme simbolik . Dali, magriteeFossilization.

Animism.
Samudra air mata,
Meniti Harapan.
Doubling.
Painting whitin
Paintig
Painting within
Word and Things.
Change of Scale. Spitit of Jakarta.
Simultanism.

Copying

fantasy

SPIRIT OF JAKARTA / 2006 / oil on canvas / 200 x 200 cm

PERJALANAN

Pengikut

ART WORKS

MENYIMAK LUKISAN TATO